Selasa, 10 Maret 2009

Oleh Oleh Dari Depok



Kebersamaan itu masih utuh


Liburan maulid Nabi, Senin 9 Maret 2009 lalu betul-betul dimanfaatkan oleh Ulul Albab Jogja. Bagaimana tidak, ketika setiap hari kami disibukkan dengan aktivitas masing2, siang hari itu para awak Ulul Albab jogja berinisiatif untuk mengisi liburan ini dengan kumpul-kumpul. Sepintas kalau dikatakan acaranya “kumpul-kumpul” konotasinya acara ini gak berguna. Tapi terserah lah, mau disebut apa saja gak jadi masalah!.
Diawali ngumpul di alun-alun kidul sebagai transit pertama, para punggawa Ulul Albab begitu sabar menunggu teman yang lain. Seperti biasa, persoalan jam karet selalu saja menjadi tradisi. Acara yang sedianya di mulai pada pukul 07:00 pagi musti molor hingga jam 10:00. Dengan kesabaran dan semangat, mas muhsin (Yang nge-tua-hi UA saat ini) begitu setia menunggu satu per-satu kedatangan awak UA yang terpencar di berbagai sudut kota. Faktor inilah yang menjadi kendala mengapa kami susah sekali untuk bisa selalu on time dalam setiap kegiatan. Kondisi anggota UA kali ini jauh berbeda dengan zaman dulu, saat ini anggota UA lebih merata tersebar di berbagai kampus, mulai UGM, UNY, UIN, UII, UAD, UMY, STIKES Aisyiyah hingga BATAN. Ini berbeda dengan kondisi sekitar lima tahun yang lalu, dimana anggota UA didominasi oleh mahasiswa UIN (dulu masih IAIN) dan terlokalisir di daerah Sapen atau Timoho (Kampus UIN), sehingga untuk mengumpulkannya tidak ditemui banyak kendala. Namun demikian, meskipun banyak anggota UA tersebar diberbagai daerah sesuai dengan domisili kampusnya masing-masing, itu tidak menyurutkan semangat kami untuk berkumpul. Ya, siang itu kita punya agenda untuk jalan-jalan ke pantai Depok, pantai yang terletak di sebelah selatan jogja. Sesekali refreshing kan gak jadi soal, dari pada suntuk mikirin rutinitas yang kadang2 bikin kepala mumet…?.
Agar semangat kebersamaan itu tetap terjaga, kami memutuskan untuk berangkat bersama-sama dengan motor masing-masing. “Jam tujuh pagi musti kumpul di Alun-alun kidul untuk kemudian dilanjutkan keberangkatannya ke pantai depok !”; ujar rekan kami mas Muhsin yang Lurahnya UA itu. walhasil, karena kami harus saling tunggu, kami baru mulai berangkat pada jam 10 pagi (setengah siang). Saat itu Cuaca jogja sedang panas2nya! Tak Kurang selama satu jam, kami tiba di pantai Depok, pantai yang indah dan bersih, namun sayang teriknya matahari membuat kami tidak begitu nyaman menikmati panorama pantai ini. Setelah berembug dan berdialog sejenak, akhirnya kami memutuskan sebuah tempat untuk kita singgahi, sebuah rumah kecil di pinggiran pantai.
Siang itu kami mengawalinya dengan acara rujakan, bekal yang sudah kami siapkan dari kos2san. Dari sinilah awal obrolan ringan tentang UA dimulai.
“Kumpulan UA itu gak perlu serius2, ya gini aja, itu sudah cukup” seloroh mbak iyut yang notabene seniornya UA mencoba membuka obrolan sambil menyiapkan rujaknya. Memang ada yang berbeda dengan perkumpulan ini. Di awal pembentukannya, organisasi ini diformat bukan layaknya sebuah organisasi formal, yang diatur dalam AD/ART, yang program-programnya direncanakan di awal periode, yang di akhir periode harus menyelesaikan LPJ. Bukan, UA bukan organisasi yang demikian. Tujuan kami sederhana, organisasi ini hanya media untuk merajut kembali kebersamaan yang pernah kami rasakan selama di pondok, itu saja. Adapun kegiatan yang bersifat praktis itu hanya pendukung. Namun demikian, kami selalu berkomitmen untuk menjadikan organisasi ini sebagai mediator bagi anggota untuk dapat mengembangkan dan mengapresiasikan bakat – kreatifitsnya. Kalau sebagian dari kami menginginkan sesuatu yang lebih, itu bisa didapat dengan aktif di organisasi lain. Kami bisa kumpul bareng saja sudah merupakan kebahagiaan yang luar biasa, dimana itu tidak bisa kami lakukan setiap hari.
Kami bukan sekumpulan orang yang dibuai oleh romantisme sejarah. Kami hanya berpandangan bahwa kebersamaan yang pernah terajut selama nyantri itu perlu dilestarikan. Bukankah islam senantiasa mengajarkan agar selalu menjaga tali ukhuwah?. Persepsi yang menganggap bahwa UA tak ubahnya sekumpulan orang yang tak punya acara dan hanya buang-buang waktu adalah asumsi yang salah kaprah. Buktinya, walaupun tidak besar toh kami juga berprestasi. Kebersamaan ini bagi kami cukup mahal, jadi kami selalu mencoba agar kebersamaan ini juga tidak hanya berkutat dalam ruang kosong. Kami yakin, ada nilai lebih yang bisa kami tawarkan melalui kebersamaan ini.
Obrolan-obrolan ringan terus berlanjut, dan tak terasa rujakpun habis dilahap. Sebagian dari kami meluncur ke tempat pelelangan ikan dan beberapa kilogram ikan kami beli. Di pantai ini kami bisa membeli ikan segar pilihan, karena disini terdapat pelelangan ikan. Terdapat banyak pula warung-warung yang menyediakan jasa pembakaran ikan berikut menyediakan nasi dan lalapannya, jadi kami gak perlu susah-susah mengolah ikan yang sudah kami beli. sambil menunggu ikan kami matang, tawa canda mengisi kekosongan. Tak butuh waktu lama, ikan yang kami belipun telah masak dan siap kami santap. Ya, inilah acara inti kami; Makan ikan laut segar di pantai yang jarang kami rasakan.
Sejenak setelah acara santap ikan segar usai, tanpa dikomanda pak lurahnya UA membuka diskusi. Hmmm….jadi teringat masa-masa Muhadloroh dipondok. Pengalaman Muhadloroh yang di tempa dipondok itu begitu terasa besar sekali manfaatnya; budaya kritis, vokal dan tidak canggung untuk berbicara dalam forum adalah hasilnya. Dulu ketika dipondok, kita selalu menjadikan momen muhadloroh sebagai beban berat, lah piye jal, pendekatan militer begitu melekat yang secara psikologis betul-betul menekan! jadi ya terpaksa deh...! andai waktu itu kita bisa lari atau sembunyi, itu pasti kita lakukan. Tapi sayang kita tidak bisa sembunyi ataupun lari. Entah mengapa, ketika mencoba untuk mangkir dari muhadloroh selalu saja ada insiden yang membuat kita tidak berani bolos. Saya teringat ketika teman sekamar saya mencoba untuk bolos dengan alasan sakit mekipun keadaannya sehat2 saja, yang terjadi malah ia menggigil ketakutan dikamar karena seluruh handuk dan pakaian yang ter”centel” dikamar pada berjatuhan!.hi… entah kekuatan apa yang menggerakkan itu semua. banyak pula pengalaman ”mistis” terjadi dan itu membuat kami tidak berani bolos muhadloroh. Bahkan ketika sakitpun, saya bela-belain ikutan muhadloroh dari pada harus sendirian di kamar. He..he… ternyata pondok kita itu ngeri ya. Zaman dulu belum ada acara reality show “Uji Nyali”, coba kalau ada……?????
Seakan mengulang kenangan itu, Terjadilah muhadloroh dalam halaqoh yang sederhana di sebuah rumah pinggiran pantai. Di awali dengan Kuliah Iftitah oleh Pak Budianto, begitu kami memanggilnya karena beliau yang paling senior dalam perkumpulan ini, seorang bapak dengan satu anak laki-laki yang perawakannya mirip sekali dengannya. Pak budi ini meskipun telah berkeluarga tapi tetap saja semangat dan aktif di UA, pada acara ini seluruh keluarganya tak lupa di ikut sertakan. Oh ya, mohon do’anya, mudah-mudahan tidak terjadi halangan apapun, beberapa bulan lagi akan lahir pula anak kedua-nya yang saat ini tengah dikandung istrinya, semoga lancar2 saja dan kelak putranya menjadi anak yang Sholeh-Sholehah, Aminn….!. Poin penting yang disampaikan pak Budi adalah mengingatkan agar seluruh awak UA mampu menjaga nama baik pondok dan Ulul Albab dengan menjunjung tinggi akhlakul Karimah. Pesan singkat tapi syarat makna.
Saya jadi termenung. Apa yang disampaikan oleh teman kami tadi bukanlah tanggung jawab yang mudah, melainkan tanggung jawab yang begitu berat yang harus kami pikul. UA hanya sebuah organisasi kecil yang tumbuh di tengah hiruk pukuknya kota jogja. UA adalah sebuah entitas kecil yang di hadapkan dengan dahsyatnya peradaban modern yang siap menghegemoni dengan segala produk globalnya. Yah…! Kota jogja, kota yang penuh dengan dinamika sosial. Gaya hidup yang hedonis dan konsumtif, pola pergaulan yang bebas, trend dan mode yang begitu pesat perkembangannya, hiburan yang tak terbatas, kompleks. Kalau sebuah entitas kecil ini harus dihadapkan dengan problematika zaman yang sedemikian rupa, wah alangkah beratnya tanggung jawab itu. Begitu pikiran yang terbesit dalam permenungan saya.
“kalian punya tanggung jawab untuk membuktikan bahwa asumsi ”mereka” tentang UA dan Jogja adalah tidak benar!” Tunjukkan yang baik-baik dan Simpan rapat-rapat yang buruk!" begitu pak budi melanjutkan kultumnya. Kegelisahan tentang jogja berikut makhluk sosialnya begitu mendalam, sampai pada titik yang memprihatinkan. Tahun 2002 lalu jogja digemparkan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Iip Wijayanto. 99 persen lebih mahasiswa Jogja tidak lagi virgin. Sebuah hasil penelitian yang mengejutkan meskipun kita tidak tahu sejauh mana penelitian itu dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Tentunya ini sebuah preseden buruk, khususnya bagi Jogjakarta yang dikenal sebagai kota pelajar. Ini juga berimbas terhadap eksistensi UA sebagai komunitas yang tumbuh di jogja. Sejak saat itu tidak banyak Orang tua alumni yang berkenan merekomendasi anaknya untuk melanjutkan studinya ke jogja. Imbasnya UA mengalami krisis generasi! Buktinya acara inipun masih banyak didominasi oleh kaum-kaum sepuh. He…he…
Di saat pak budi masih menyampaikan kultumnya, saya berpikir; hmmm..…cerdas sekali bapak satu ini, dia berusaha memberikan umpan dan saya yakin selanjutnya pasti terjadi diskusi hangat. Tak pelak setelah pak budi menyampaikan kultum, bak gayung bersambut satu persatu jama’ah muhadoroh ini berebut urun rembug! ………(bersambung)

Selasa, 17 Februari 2009

"Perempuan Berkalung Sorban" benarkah menjadi kontroversi karena 'menggoyang' eksistensi dan otoritas Pesantren/Kyai sebagai symbol religiusitas?

Dunia perfilman Indonesia saat ini diramaikan oleh kontroversi film "Perempuan Berkalung Sorban" (PBS) karya sutradara Hanung Bramantyo, yang sebelumnya cukup 'dielukan' oleh masyarakat -khususnya muslim- karena telah sukses mendirect film "Ayat-Ayat Cinta" yang bergenre cinta bernuansa Islami.

Dalam film PBS -yang bersetting di Jombang 1985- mengkisahkan tokoh Annisa, putri seorang kyai, yang mencoba berontak dari kungkungan budaya patriarki yang ada di pesantren. Meski pada akhirnya ia tidak bisa menolak ketika sang ayah memaksanya menikah dengan Samsudin, anak Kyai- teman ayahnya- yang diwatakkan sebagai tokoh antagonis, gila seks, licik, dsb, sebuah karakter yang di'image'kan -dalam film ini- sangat bertentangan dengan image seorang anak Kyai yang semestinya. Tidak hanya itu, sistem pembelajaran di pesantren dalam film ini juga digambarkan sangat patriarki, dimana santri-santri dijejali ayat2/hadis2 misoginis dengan sistem pembelajaran yang doktriner dan anti kritik oleh sang Kyai. Selain itu, santri dilarang keras membaca buku-buku yang melenceng dari referensi utama pesantren, yaitu kitab-kitab kuning.

Kondisi tersebut coba dilawan oleh Annisa dengan cara-cara yang cukup berani dan terkesan ekstrem, seperti secara sembunyi-sembunyi Annisa menjejali santri dengan buku-buku yang 'haram' dikonsumsi santri seperti-digambarkan di film ini- buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, Annisa juga mencoba keluar dari belenggu rumah tangganya yang 'menyiksa' dengan cara meminta Khudori, sosok laki-laki yang dicintai oleh Annisa yang harus meninggalkan Annisa karena harus menuntut ilmu di Al-Azhar Mesir, yang ketika itu pulang dari mesir untuk menzinainya. Momen ketika Annisa berkata "zinai aku" kepada Khudori tepat ketika Samsudin dan beberapa santri datang dan menyaksikan Annisa sedang berdua dengan Khudori. Keadaan ini dijadikan alasan bagi Samsudin untuk mengalungkan sorban ke leher Annisa dan menyeretnya ke halaman lalu meminta santri dan masyarakat merajam (melempari batu) Annisa dan Khudori karena dianggap telah berzina.

Perlawanan atas tindakan rajam digambarkan, ketika sosok ibu Annisa, yang selama ini banyak diam dan tidak berani membantah suaminya-sang Kyai, dengan keras mengatakan "hanya orang-orang yang tidak punya dosa saja yang boleh melempar batu (merajam)" kalimat ini membuat santri dan masyarakat berhenti melakukan rajam. Peristiwa ini akhirnya membawa Annisa lepas dari belenggu perkawinannya dengan Samsudin dan ia pergi meninggalkan pesantren ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu, seperti yang dicitakan sebelumnya, dan pada akhirnya menikah dengan Khudori, meski akhirnya Khudori meninggal. Setelah itu, Annisa digambarkan berjuang sendiri, secara sembunyi-sembunyi dan pelan-pelan untuk merubah budaya patriarki dan sistem pembelajaran di pesantren, serta perlawanannya terhadap kedua kakak laki-lakinya yang meneruskan mengurus pesantren setelah ayahnya meninggal.

Film ini akhir-akhir ini menjadi kontroversi ketika sejumlah ulama pesantren dan MUI memboikot film ini, bahkan ketika pada acara debat di tvOne, Ridwan Saidi, sebagai tokoh yang kontra, sangat emosional menanggapi argumen Hanung, selaku sutradara, dan membodoh-bodohkan Hanung sebagai orang yang tidak mengerti film. Bagi saya, yang telah menonton film ini dan notabene pernah mengenyam pendidikan di pesantren, film ini sebenarnya cukup menarik dan ada sisi positifnya, khususnya terkait dengan masalah hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan dan rumah tangga. Saya tidak melihat upaya -apalagi dilakukan dengan sengaja- untuk melecehkan lembaga Pesantren dan sosok Kyai.

Dalam perspektif saya sebagai penonton, apa yang digambarkan dalam film tersebut memang tidak semuanya sesuai dengan realitas, banyak hal yang digambarkan secara berlebihan dari yang sebenarnya, namanya juga film 'sebuah realitas yang diciptakan'. Namun, kalau mau jujur ada beberapa hal dari film tersebut yang memang nyata terjadi di lingkungan pesantren, misalnya ajaran tentang ayat2/hadis2 misoginis, setidaknya ketika saya di pesantren saya diajarkan hadis yang menjelaskan 'kalau istri menolak ajakan suami bersebadan dan suami tidak ridlo atas penolakan tersebut, maka istri akan dikutuk oleh malaikat sepanjang malam', tanpa ada penjelasan yang seimbang akan makna hadis tersebut. Sementara realitas seorang Kyai menghalangi anak gadisnya untuk menuntut ilmu dan memaksa menikah dengan sesama anak Kyai juga masih banyak terjadi saat ini.

Sebagai alumni pesantren, saya tidak merasa film ini merusak atau melecehkan almamater dan Kyai saya, karena saya yakin almamater dan Kyai saya tidak seperti yang digambarkan, sehingga tidak mengharuskan saya marah atau kebakaran jenggot. Film ini sebenarnya, menurut saya, isu sentral yang ingin diangkat adalah masalah gender dan hak-hak perempuan dalam perspektif Islam. Dan pesantren coba diangkat di sini sebagai setting karena pesantren merupakan simbolisasi religiusitas (Islam), yang dalam perjalanannya, tidak dapat dipungkiri cukup kental diwarnai oleh budaya patriarki.

Mengapa kemudian film ini menjadi kontroversi? benarkah karena film ini mencoba 'menggoyang' eksistensi pesantren dan terlebih otoritas Kyai ? tentunya ini adalah resiko yang harus ditanggung oleh pembuat film ini, atau bahkan sudah terprediksi sebelumnya akan menimbulkan kontroversi. Karena sudah jamak terjadi film, novel, lagu atau karya seni lainnya, yang mencoba 'menggoyang' otoritas seseorang/lembaga atau bahkan keyakinan tertentu yang sudah di'image'kan dengan gambaran tertentu dalam masyarakat lalu menampilkannya dalam gambaran yang sedikit melenceng atau bahkan berlawanan, akan mendapat respon, gempuran serta kemarahan yang cukup keras, khususnya dari seseorang/lembaga yang di'image'kan. Ambil contoh lagu Slank yang berjudul 'Gosip Jalanan' yang mencoba 'menggoyang' otoritas lembaga DPR dan membuat merah telinga para anggota dewan meski pada akhirnya lagu itu terbukti benar dengan tertangkapnya al-Amin Nur Nasution. Karya yang hampir sama adalah novel dan film The da Vinci Code, yang mencoba 'menggoyang' keyakinan umat Kristiani akan sosok Yesus, salah satunya- yang digambarkan pernah menikah dengan Maria Magdalena, sehingga menimbulkan kemarahan Vatikan dan umat Kristiani, dan menyerukan untuk memboikot novel dan filmnya.

Lalu bagaimana dengan Perempuan Berkalung Sorban? sungguh ironis ketika masyarakat- khususnya MUI dan Ulama', begitu emosional dan mencecar film tersebut padahal hanya sebagai 'realitas yang diciptakan' ini, sementara ketika realitas sesungguhnya terjadi, dimana seorang pemimpin Pesantren besar bergelar Syaikh (sekali lagi simbol) menikahi gadis di bawah umur untuk dijadikan istri kedua, mereka diam tak berkomentar...

Minggu, 18 Januari 2009

santri ketemu kyai

Alkisah suatu sore seorang kyai datang beserta rombongan ke jogja, beliau mampir ke kampus UIN untuk sholat ashar, namun alangkah terkejutnya sang kyai ketika sampai di UIN tidak menemukan masjid, yang ada hanya gedung aula yg disulap menjadi tempat sholat. Malam harinya, sang kyai bertemu dengan mantan santri2nya yang ngangsu ilmu di jogja, ya sebagian besar di UIN. Sang kyai, setengah komplain setengah kritik, berkata :"masa UIN kok ga punya masjid itu kan aneh...", mendengar kritik tajam dari sang kyai tentang kampusnya, salah satu santri nyeletuk karena dalam pikirannya seolah-olah sang kyai menuduh bahwa dg tidak adanya masjid di UIN itu berarti mahasiswanya ga sholat- "yi...shalat kan ngga harus di masjid", mendengar jawaban yang agak-mungkin "panas", sang kyai berkata lagi sambil "nyuding-nyuding" santrinya "ada itu anak ushuludin setelah kuliah di ushuludin sudah ngga mau shalat" si santri dengan cepat mengacungkan telunjuk dan jari tengah "tanda piss" sambil ngomong " yi...saya syari'ah lho yi...asli syari'ah" mendengar jawaban itu santri2 lain tertawa karena mereka tahu pasti bahwa santri itu memang alumni fak.syari'ah dan notabene sang kyai juga alumni fak.syari'ah di almamater yang sama yaitu UIN/IAIN.
Sebenarnya jika kita menilik kritik tajam sang kyai, itu merupakan sebuah cambuk pengingat bagi santri2nya agar jangan sampai meninggalkan sholat, dan itu merupakan sebuah petuah bijak dari kyai untuk para santrinya. Tapi mudah-mudahan kritik tersebut bukan mengarah pada simbol pemikiran "formalisme keberagamaan". Amiiin
Salam ta'dzim buat al-mukarrom ustadz Abd. Hakam Mubarok, Lc.

Selasa, 13 Januari 2009

kita awali dari Jogja

Tulisan ini pernah saya posting di milis Alumni Karangasem, tapi tak ada satupun respon yang singgah. Karena itu saya ingin menuangkan kembali kegelisahan ini dengan tujuan agar teman-teman alumni yang lain (khususnya anak-anak Ulul Albab Jogja) berkenan memberikan sumbang pikirannya, mengingat Karangasem dan Alumninya adalah sesuatu yang integral dan tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang, keduanya memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dan terkait.

Seingat saya, Karangasem saat ini telah memasuki usianya yang ke 60 tahun (atau mungkin lebih). Usia yang sangat matang. Dengan usia yang setua itu telah banyak pula anak panah (alumni) yang dilahirkan dan melesat ke dalam ruang yang berbeda-beda. Ada yang sukses jadi pejabat, pengusaha, akademisi, sastrawan dan jurnalis, bahkan yang masih berkutat dengan bangku kuliahpun seabrek jumlahnya. Tapi sayang, ribuan alumni dengan berbagai potensi tersebut tidak terakomodir dengan baik.

Dibeberapa kota, terdapat organisasi alumni Karangasem; Ulul Albab di Jogja, Dzulfikr di Surabaya dan organisasi lainnya yang saat ini masih bisa eksis dan survive. Tapi peran organisasi tersebut hanya terbatas pada pemberdayaan secara internal, belum ada output yang bisa diberikan untuk perkembangan Karangasem. Hal ini disebabkan oleh lemahnya jaringan yang dibangun antara organisasi alumni dibeberapa daerah dengan Yayasan Pondok pesantren Karangasem. Namun demikian, itu bukan satu alasan untuk sembunyi dari kenyataan bahwa apatisme alumni terhadap pondoknya sudah sampai pada titik yang mengkhawatirkan.

Apakah ada yang salah dengan pola pendidikan di Karangasem?, ataukah kesalahan tersebut bermuara dari elemen yang paling fundamental; sistem dan birokrasi feodal yang mengakar dan berkembang ditengah-tengah penggede Yayasan? Atau siapakah yang salah dalam hal ini?. Tidak bijak kiranya bila kita menyalahkan satu pihak saja. Tapi akan sangat mengkhawatirkan sekali jika gejala ini terus berlangsung, maka Karangasem dari tahun ke tahun akan melahirkan alumni yang apatis, yang tidak pernah merasa peduli lagi dengan pondoknya.

Apatisme yang ditunjukkan oleh alumni paling tidak dapat memberikan nilai positif dan negatif bila dilihat dari perspektif manajemen organisasi kharismatik yang selama ini dikembangkan dikarangasem. Apatisme tersebut akan melanggengkan feodalisme kepemimpinan di Karangasem tapi disisi lain akan mengurangi nilai tawar Karangasem dalam persaingan di dunia pendidikan yang semakin ketat. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah santri yang mondok di Karangasem menurun drastis. Masyarakat Lamongan dan sekitarnya lebih memilih pondok Al-islah Sendang dan pondok Muhammadiyah babat yang diasuh oleh yai mukhlis sebagai pilihan. Atau masyarakat paciran lebih senang sekolah di Pondok Modern atau di sekolah Negeri. Tapi saya tidak akan terlalu jauh masuk dalam wilayah ini, karena itu perkara lain.

Saya yakin, keinginan para alumni untuk terlibat dan bermanfaat bagi perkembangan Karangasem dengan potensinya masing-masing masih ada dalam hati kecil teman-teman. Tapi bagaimana niat itu bisa tersalurkan?. Sebuah pertanyaan yang harus kita cari jawabannya bersama.

Sedikit saya memberi perbandingan, saat ini saya juga terlibat aktif dalam organisasi alumni salah satu sekolah Muhammadiyah dijogja, suasana berbeda sangat terasa sekali dengan keberadaan saya sebagai alumni Karangasem. Organisasi alumni dijogja ini mendapatkan legitimasi dan perhatian dari induk sekolah, relasi yang terbangun cukup baik, bahkan untuk persoalan internal sekolahpun Alumni banyak dilibatkan. Antara induk sekolah dan para Alumni sama-sama bersinergi. Dan Untuk skala Nasional, dibentuk pula Keluarga Alumni, ini dengan tujuan untuk mengakomodir kepentingan alumni yang banyak tersebar luas di beberapa daerah di Indonesia. Jelas kondisi yang kontras dengan keberadaan alumni Karangasem.

Berkaca dari pengalaman saya tersebut, saya yakin alumni karangasem mampu melakukan hal yang sama. Untuk membangun relasi antara Alumni dengan Yayasan pondok, kita membutuhkan media yang dapat menjadi penghubung antara Alumni dengan Yayasan pondok. Ini bertujuan Agar gagasan-gagasan yang dikembangkan alumni karangasem di luar dapat langsung ditransfer ke Karangasem dan tidak menjadi gagasan liar yang kemudian melahirkan polemik di kalangan alumni. Alumni karangasem terpusat di wilayah Jawa Timur, Karena sebagian besar pelajar dan santri karangasem berasal dari daerah Lamongan dan sekitarnya. Jadi saya rasa bukan sebuah hal sulit bila alumni yang tersebar diwilayah lamongan dan jatim tersebut diorganisir dengan tujuan jangka panjang lahirnya Keluarga Alumni Karangasem Paciran. Sesukar dan se kompleks apapun problematika ini, kita musti berbuat!
Selanjutnya, Sanggupkah Ulul Albab Jogja yang notabene adalah kumpulan orang-orang terdidik menjadi pelopor dalam memperjuangkan gagasan-gagasan konstruktifnya untuk perkembangan karangasem sehingga Ulul Albab dapat berperan lebih luas?
Wassalam
Ahmad Maftuhin - Jogjakarta

foto - foto






Welcome To Jogja...

Salam Ulul Albab.....

Untuk Mengawali post dalam blog ini, patut kiranya jika rasa syukur kita panjatkan kehadirat Allah ta'ala. yang telah memberikan pencerahan kepada kita semua.
wah rasanya semakin bergairah saja Ulul Albab jogja neh... silahkan teman-teman UA jika mau posting apa saja di blog ini.